Jumlah Perokok Anak-anak Mulai Menurun, Revisi PP 109/2012 Dinilai Tak Relevan

Trending 7 months ago

Suara.com - Rencana pemerintah melakukan revisi Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 tentang Pengamanan Bahan nan Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan dinilai tidak tepat oleh sejumlah pihak. Alasan terus meningkatnya prevalensi perokok anak untuk mendorong revisi patokan ini juga dinilai tak berdasar.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat prevalensi merokok di kalangan anak-anak berumur 18 tahun ke bawah terus merosot dalam lima tahun terakhir.

Pada tahun 2022, terdapat 3,44% anak berumur 18 tahun ke bawah nan merokok. Presentase ini turun secara konsisten  dibandingkan pada tahun 2018 nan apalagi mencapai 9,65%.

Dengan argumen menurunkan prevalensi perokok anak, rencana revisi beleid nan saat ini diprakarsai Kementerian Kesehatan juga berencana untuk melarang penjualan rokok batangan.

Baca Juga: Diprotes Warga Lamongan, Siapa Sosok Pria Gendong Anak nan Ada pada Bungkus Rokok?

Menanggapi perihal ini, Ketua Umum Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS), Ali Mahsun menyatakan selama ini para pedagang mini nan menjual rokok sejatinya tidak menjual rokok kepada anak-anak, baik secara batangan alias bungkusan.

"Kami sepenuhnya mendukung upaya pemerintah menekan prevalensi perokok anak dan remaja. Oleh karenanya, kami mendeklarasikan ‘Gerakan Nasional Pedagang dan Rakyat Kecil: Rokok Bukan Untuk Anak.’ Di mana seluruh pedagang kaki lima, pedagang asongan, pedagang kelontong, dan teman-teman ekonomi rakyat mini berkomitmen untuk tidak boleh menjual rokok, baik dengan corak batangan alias bungkusan, ke anak-anak," ujar Ali seperti dikutip, Senin (6/2/2023).

Wacana larangan penjualan rokok batangan mempunyai akibat ketidakadilan bagi kondisi ekonomi rakyat kecil. Sebab, banyak pedagang nan bakal terdampak atas kebijakan ini, apalagi berpotensi kehilangan sumber pendapatan. Hal ini dikarenakan banyak pedagang nan mempunyai modal mini dan hanya bisa menjual rokok secara batangan.

"Rencana larangan penjualan rokok batangan ini terbit tanpa memikirkan aspek-aspek lainnya. Prevalensi perokok anak dan penjualan rokok batangan tidak mempunyai hubungan nan signifikan," imbuh Ali.

Di kesempatan berbeda, pengamat kebijakan, Agustinus Moruk Taek, menjelaskan penyusunan kebijakan di Indonesia selama ini terlalu konsentrasi terhadap konsentrasi norma dan sering alpa dalam memandang konteks maupun keadilan regulasi.

Baca Juga: Jangan Dianggap Remeh! Dokter Sebut Rokok Masih Jadi Penyebab Utama Kanker Paru-Paru Pada Lelaki

Hal tersebut membikin suatu izin tidak tepat guna, lantaran tidak mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat nan semestinya mendasari suatu kebijakan. Imbasnya, izin nan terbit justru menimbulkan ketidakadilan dan masalah baru.

Dalam studi nan dilakukannya, Agustinus menyimpulkan rencana revisi PP 109/2012 dilakukan tanpa riset nan kuat. Ia menyebut muatan revisi hanya berisi kausalitas tanpa argumentasi dan support info nan akurat.

"Jadi, apakah PP 109/2012 mendesak untuk direvisi? Jawabannya tidak. Hasil studi memperlihatkan izin saat ini tetap relevan untuk menekan prevalensi perokok anak," imbuh dia.

Alih-alih menjadi solusi, Agustinus menekankan bahwa revisi berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi dan sosial lantaran bakal menjadi tekanan baru bagi seluruh mata rantai industri tembakau, termasuk para pedagang mini nan tergolong pelaku UMKM.

Source suara.com
suara.com